Mengenal Kampung Adat Kuta Ciamis Jawa Barat

Mengenal Kampung Adat Kuta Ciamis Jawa Barat

Mengenal Kampung Adat Kuta Ciamis Jawa Barat

Suasana Panen Raya di Kampung Kuta (foto Baltyra.com)

Suasana Panen Raya di Kampung Kuta (foto Baltyra.com)

Wisata Indonesia – KAMPUNG Kuta Tambaksari Ciamis adalah suatu dusun adat yg sampai saat ini masih teguh memegang budaya adat leluhur. Komunitas ini terletak di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari, sekitar 60 Km dari Kota Ciamis ke tujuan timur.

Kampung Kuta terdiri atas 2 RW serta 4 RT. Kampung ini berbatasan dengan Dusun Cibodas di sebelah utara, Dusun Margamulya di sebelah barat, serta di sebelah selatan serta timur dengan Sungai Cijulang, yg sekaligus adalah perbatasan kawasan Jawa Barat dengan Jawa Tengah.

Aksesibilitas Menuju Kampung Kuta

buat menuju Kampung Kuta dpt ditempuh dari kota Kabupaten Ciamis dengan jarak sekitar 34 km. pengunjung dpt menggunakan mobil angkutan Generik sampai ke Kecamatan Rancah serta dilanjutkan dengan menggunakan motor sewaan atau ojeg.

kondisi jalan berupa aspal yg berkelok-kelok serta tanjakan yg cukup curam. bila melalui Kecamatan Tambaksari dpt menggunakan kendaraan Generik mobil sewaan atau ojeg dengan kondisi jalan serupa.

asal usul Kampung Kuta

Nama Kampung Kuta ini mungkin diberikan di karenakan sesuai dengan lokasi Kampung Kuta yg terletak di lembah yg curam, kurang lebih 75 meter, serta dikelilingi oleh tebing-tebing/perbukitan. Dalam bahasa Sunda buhun, Kuta artinya pagar tembok.

Gerbang Masuk Kampung Kuta

Gerbang Masuk Kampung Kuta

terdapat beberapa versi perihal asal usul Kampung Adat Kuta. masyarakat setempat percaya, asal usul Kampung Kuta berkaitan dengan pendirian kerajaan Galuh. Kampung Kuta konon awalnya dipersiapkan sebagai ibukota kerajaan Galuh, namun nggak jadi.

Calon Ibukota Kerajaan yg nggak Jadi

saat itu sang raja yg bernama Ki Ajar Sukaresi hendak membangun pusat kerajaan. Maka dipilihlah suatu tempat yg terletak di lembah yg dikelilingi oleh tebing sedalam sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu.  Lokasi inilah yg kini menjadi Kampung Kuta.

Sang raja lalu memerintahkan rakyatnya buat membangun suatu keraton. namun saat seluruh persiapan sudah dibuat serta bahan-bahan buat membangun keratorn sudah terkumpul, Sang Prabu baru menyadari bahwa lokasi tersebut nggak pas buat dijadikan pusat kerajaan di karenakan “nggak memenuhi Patang Ewu Domas”.  Maka, atas saran para bawahannya diputuskan buat menemukan lokasi baru.

Berbekal sekepal lahan dari bekas keratonnya di Kampung Kuta sebagai kenang-kenangan, Sang Prabu serta para punggawa berangkat menemukan lokasi baru.

selepas menjalankan perjalanan beberapa hari, rombongan sampai di suatu tempat yg tinggi. Sang Prabu lalu melihat-lihat ke sekeliling buat meneliti apakah terdapat tempat yg pas buat membangun Ibukota. Konon, tempat ia melihat-lihat itu sekarang bernama Tenjolaya (tenjo dalam bahasa Sunda berarti lihat).

saat Sang Prabu melihat ke tujuan barat, ia melihat hutan rimba menghijau yg terhampar luas. Ia setelah itu melemparkan kepalan lahan yg dibawanya dari Kuta ke tujuan itu. Kepalan tersebut jatuh di suatu tempat yg sekarang bernama “Kepel”.

lahan yg dilemparkan tersebut kini berubah menjadi sebidang sawah yg datar dengan lahan berwarna hitam seperti dengan lahan di Kuta. Sedangkan lahan di sekitarnya berwarna merah.

Sang Prabu beserta rombongan melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yg subur di tepi Sungai Cimuntur serta Sungai Citanduy.  Di sanalah lalu ia membangun kerajaan. Lokasi tersebut kini disebut Karang Kamulyan. Baca: Merekontruksi Legenda Ciung Wanara di Situs Karangkamulyan.

Cerita selanjutnya identik dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh. Sang Prabu setelah itu memutuskan buat mandeg pandita di Gunung Padang. Tahta Kerajaan ia titipkan kepada sang patih bernama Aria Kebondan.

Kepergian Sang Prabu meninggalkan dua orang istri, adalah Dewi Naganingrum yg sedang mengandung serta Dewi Pangrenyep. saat Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukarkan bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu setelah itu dihanyutkan ke Sungai Citanduy.

Mengetahui Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yg menjadi raja di Galuh menjadi malu. Lalu menyuruh Lengser membunuhnya. namun, sang Lengser nggak tega membunuh sang dewi.  Ia hanya menyembunyikannya di Kuta.

Adapun bayi yg dibuang ke Sungai Citanduy setelah itu ditemukan oleh Aki Balangantrang yg setelah itu diambil serta diasuh sampai remaja serta diberinama Ciung Wanara. Tempat Aki Balangantrang mengasuh Ciung Wanara tersebut bernama “Geger Sunten”, berjarak sekitar 6 km dari Kuta.

Ciung Wanara setelah itu merebut kembali Kerajaan Galuh dari Aria Kebondan melalui pertandingan sabung ayam, sebagaimana yg diceritakan dalam naskah. selepas Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum oleh di karenakan itu dapat berkumpul kembali dengan anaknya.

Cerita Tuan Batasela serta Aki Bumi

selain cerita di atas, Kampung Kuta juga berkaitan dengan cerita Tuan Batasela serta Aki Bumi.Diceritakan bahwa bekas ibukota Galuh yg diterlantarkan selama beberapa lama tersebut memikat perhatian Raja Cirebon serta Raja Mataram.

Masing-masing raja tersebut setelah itu mengirimkan utusannya buat menyelidiki kondisi di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, sedang Raja Mataram mengutus Tuan Batasela.

Sebelum ke Kuta, Raja Cirebon membagikan pesan kepada sang utusan bahwa bila didahului oleh utusan dari Mataram, ia nggak boleh memaksa menguasai Kuta. Ia wajib mengundurkan diri, namun nggak boleh pulang ke Cirebon serta wajib terus berdiam di sekitar kawasan itu sampai mati.

Pesan yg sama juga didapat oleh Tuan Batasela. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya masing-masing.

Tuan Batasela berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung.  Ia lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yg dilaluinya tersebut sampai saat ini masih sering dilalui orang buat menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat bernama penyebrangan “Pongpet”.

Adapun Aki Bumi, dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui suatu jalan curam, yg sampai saat ini masih terdapat serta diberi nama “Regol”, oleh di karenakan itu tiba lebih dulu di Kampung Kuta.

Sesampainya di Kuta, Aki Bumi menemui para tetua kampung serta menjalankan penertiban-penertiban, seperti membuat jalan ke hutan serta membuat tempat peristirahatan di pinggir situ yg disebut “Pamarakan”.

di karenakan sudah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela setelah itu terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yg terletak di utara Kampung Kuta.

Konon, utusan dari Mataram itu kekurangan Camilan, lalu meminta-minta kepada penduduk di Kampung itu, namun nggak terdapat yg ingin membagikan.

Keluarlah umpatan serta sumpah dari Tuan Batasela yg mengatakan bahwa, “Di setelah itu hari, nggak akan terdapat orang yg kaya di Kampung itu.” Konon, kutukan tersebut terbukti.  sampai saat ini rakyat di kampung tersebut nggak terdapat yg kaya.

di karenakan menderita terus, Tuan Batasela setelah itu bunuh diri dengan keris. Darah yg keluar dari lukanya berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yg setelah itu disebut “Cibodas”. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas.

Tuan Batasela dimakamkan di tengah- tengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas. Makamnya masih terdapat sampai saat ini.

Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal.  Ia lalu dimakamkan bersama keluarganya di tengah-tengah Kampung, yg sekarang termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut “Pemakaman Aki Bumi”.

selepas keturunan Aki Bumi nggak terdapat lagi, Raja Cirebon memerintahkan agar yg menjadi kuncen di Kampung Kuta selanjutnya adalah orang-orang yg dipercayai oleh Aki Bumi, adalah para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini.

Tradisi Adat yg Masih Dipertahankan

Kearifan lokal yg dipegang oleh penduduk Kampung Kuta sukses menjaga keseimbangan alam serta terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Salah satu yg menonjol adalah dalam hal pelestarian hutan, mata air serta pohon aren buat sumber kehidupan mereka.

penduduk Adat memiliki hutan keramat atau disebut Leuweung Gede yg sering didatangi oleh orang-orang yg ingin memperoleh keselamatan serta kebahagiaan hidup. namun, sangat dipantang meminta sesuatu yg menunjukkan ketamakan seperti Harta.

buat memasuki kawasan hutan keramat diberlakukan sejumlah Embargo. adalah antara lain: nggak boleh memanfaatkan serta merusak sumber daya hutan, menggunakan baju dinas, menggunakan perhiasan emas, menggunakan baju hitam-hitam, membawa tas, menggunakan alas kaki, meludah, serta berbuat gaduh.  Bahkan juga nggak boleh menggunakan alas kaki.

seluruh Embargo-Embargo tersebut bertujuan buat menjaga hutan nggak tercemar serta tetap lestari. Maka nggak mengherankan di Leuweung Gede masih terlihat kayu-kayu besar serta tua. selain itu, sumber air masih terjaga dengan bagus. Di pinggir hutan banyak mata air yg Higienis serta sering dipergunakan buat mencuci muka.

di karenakan ketaatannya dalam menjaga kelestarian lingkungannya, di Tahun 2002 Kampung Kuta memperoleh penghargaan Kalpataru buat kategori Penyelamat Lingkungan.

Pesawahan di Kampung Kuta (foto Baltyra.com)

Pesawahan di Kampung Kuta (foto Baltyra.com)

Embargo-Embargo lain yg berlaku di luar Leuweung Gede tapi masih termasuk kawasan Kampung Kuta pun wajib dipatuhi, seperti Embargo membangun rumah dengan atap genting, mengubur jenazah di Kampung Kuta, memperlihatkan hal-hal yg bersifat memamerkan Harta yg dapat menimbulkan persaingan, mementaskan kesenian yg mengandung lakon serta cerita, misalnya wayang.
Salah Satu Rumah di Kampung Kuta

Salah Satu Rumah di Kampung Kuta

Embargo-Embargo tersebut jikalau dilanggar diyakini oleh penduduk akan menyebabkan malapetaka untuk mereka yg melanggarnya.Keunikan lainnya, masyarakat Kampung Kuta dilarang membuat sumur. Air buat keperluan sehari-hari wajib diambil dari mata air. Embargo tersebut mungkin dikarenakan kondisi lahan di kampung yg labil serta dikhawatirkan dpt merusak kontur lahan.

Kehidupan Berkesenian di Kampung Kuta

Walaupun terikat rule-rule adat, penduduk Kampung Kuta mengenal serta menggemari bermacam kesenian yg dipergunakan sebagai sarana hiburan.  bagus kesenian tradisional seperti calung, reog, sandiwara (drama Sunda), tagoni (terbang), kliningan, jaipongan, kasidah, ronggeng, sampai kesenian modern dangdut.

Pertunjukan kesenian biasa dilaksanakan di saat mengadakan selamatan/hajatan terutama perkawinan serta penerimaan tamu kampung.

Panen Raya di Kampung Kuta (foto Baltyra.com)

Panen Raya di Kampung Kuta (foto Baltyra.com)

Upacara Adat Nyuguh

Salah satu upacara adat yg rutin dilaksanakan adalah upacara adat Nyuguh.   Upacara ini dilaksanakan di tanggal 25 Shapar di setiap tahunnya.  Sesuai kebiasaan leluhur, acara nyuguh wajib dilaksanakan di pinggir Sungai Cijolang yg berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.Konon, pernah satu kali acara nyuguh nggak dilaksanakan, tiba-tiba seluruh kampung memperoleh musibah. Padi yg siap panen rusak, sejumlah Hewan ternak mati. masyarakat menyakini kerusakan itu terjadi di karenakan “utusan” Padjadjaran itu nggak disuguhi Camilan. Alhasil mereka pun menemukan Camilan sendiri dengan tips merusak kampung.

Inap Desa di Kampung Kuta

untuk anda yg berkeinginan buat menginap di Kampung Adat Kuta, tersedia Inap Desa kurang lebih 50 (lima puluh) rumah dengan kapasitas 3 (tiga) orang setiap rumahnya.  Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.  Adapun nomor yg dapat dihubungi adalah Telp.: +62 812 2281 3316 (Bp. Wendry).

Jadi.. kapan ke sana?




Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Back To Top