Ronggeng Gunung Ciamis, Lahir dari Kepedihan serta Dendam
Ronggeng Gunung adalah suatu kesenian tari yg tumbuh serta berkembang di kawasan Ciamis Selatan serta Pangandaran, adalah seperti kawasan Panyutran, Ciparakan, Banjarsari, Burujul, Pangandaran serta Cijulang.
dengan cara Generik, kesenian ini nyaris sama dengan ronggeng di umumnya. Yakni dicirikan dengan penampilan satu orang atau lebih penari yg dilengkapi dengan gamelan serta nyanyian atau kawih pengiring.
Penari utamanya seorang perempuan yg dilengkapi dengan suatu selendang yg berfungsi sebagai kelengkapan dalam menari. Selendang ini juga dipergunakan buat mengajak lawan (laki-laki) buat menari bersama dengan tutorial mengalungkan ke lehernya.
yg membedakan adalah aura kesakralan yg melatarbelakangi terciptanya kesenian ini. Konon ia tercipta dari kepedihan hati dari seorang putri raja yg kehilangan suami yg amat dicintainya serta upayanya buat balas dendam kepada sang pembunuh.
Asal-usul Ronggeng Gunung
mengenai asal-usul Ronggeng Gunung ini terdapat beberapa versi yg berkembang. Versi pertama, kesenian ini diciptakan oleh Raden Sawunggaling.Konon saat itu kerajaan Galuh dalam suasana kacau di karenakan Agresi musuh oleh di karenakan itu memaksa Sang Raja buat mengungsi ke tempat yg aman. Dalam situasi yg gawat tersebut, Raden Sawunggaling datang serta menyelamatkan raja.
Sebagai ungkapan terima kasih, Raja Galuh setelah itu menikahkan Raden Sawunggaling dengan putrinya. saat Raden Sawunggaling naik tahta menggantikan sang mertua, ia menciptakan suatu tarian yg berfungsi buat menghibur istana. Penarinya dipilih yg betul-betul pandai menari, bersuara keren serta cantik. oleh di karenakan itu saat itu, penari ronggeng memiliki status terpandang di penduduk.
Versi kedua bercerita mengenai seorang puteri yg ditinggal mati kekasihnya. Begitu bersedihnya, oleh di karenakan itu siang serta malam ia menangis meratapi kematian orang yg dicintainya itu.
Prihatin melihat hal tersebut, beberapa pemuda datang menghibur. Mereka menari mengitari sang puteri sembari menutup hidung di karenakan bau busuk mayat. Lama-kelamaan, sang puteri pun akhirnya ikut menari serta menyanyi dengan nada sedih. Adegan-adegan tersebut banyak yg menjadi dasar dalam gerakan-gerakan di pementasan Ronggeng Gunung saat ini.
Versi ketiga mengisahkan mengenai Dewi Samboja, puteri Prabu Siliwangi yg bersuamikan Anggalarang. Suami sang Dewi tewas terbunuh oleh bajak laut yg dipimpin oleh Kalasamudra.
Dewi Samboja sangat bersedih serta marah kepada para bajak laut yg sudah membunuh suaminya tersebut. Mengetahui hal tersebut, maka Prabu Siliwangi membagikan wangsit kepada Dewi Samboja. Isinya adalah bahwa buat dpt membalas kematian Anggalarang, Dewi Samboja wajib menyamar sebagai seorang penari ronggeng bernama Nini Bogem.
Dewi Samboja setelah itu belajar menari ronggeng serta bela diri. sampai di suatu saat, sang dewi berkesempatan menari ronggeng di tempat Kalasamudra. Kalasamudra yg tak mengetahui bahwa yg menari bersamanya adalah Dewi Samboja yg sedang menyamar akhirnya terbunuh. serta terbalaslah dendam sang dewi.
Versi keempat, yg paling populer identik versi ketiga. Menceritakan mengenai Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, beristrikan Siti Samboja yg berkeras membangun suatu kerajaan di Pananjung (kini menjadi Cagar Alam Pananjung). Padahal sang ayah sudah memperingatkan bahaya di lokasi tersebut di karenakan dekat dengan markas perompak.
Kekhawatiran Prabu Haur Kuning terbukti. Kerajaan Pananjung diserang oleh para bajak laut yg dipimpin oleh Kalasamudra. Dalam pertempuran yg tak seimbang, Raden Anggalarang tewas. Sedang sang istri sukses menyelamatkan diri.
Dalam pelariannya yg penuh penderitaan, Siti Samboja berganti nama menjadi Dewi Rengganis serta menyamar sebagai ronggeng. Dengan memendam kepedihan ia berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Kepedihannya itu ia ungkapkan dalam suatu kawih sedih:
Ka mana boboko suling
Teu kadeuleu-deuleu deui
Ka mana kabogoh kuring
Teu Kadeuleu datang deui
Rasa dendam yg menyertai akhirnya membawanya ke tempat Kalasamudra. Dengan menyamar sebagai ronggeng, Dewi Samboja akhirnya sukses membunuh sang bajak laut yg tak waspada.
Dari cerita-cerita tersebut, dpt dibayangkan bahwa Ronggeng Gunung lahir dari suatu kepedihan serta dendam. Konon, para pembantu Dewi Rengganis yg ikut menari menutup wajahnya dengan kain sembari memancing musuhnya buat ikut hanyut dalam tarian. saat sang musuh tergoda serta ikut ke tengah lingkaran, sebilah pisau mengintip menunggu saat yg tepat buat ditikamkan.
Pengantar Upacara Adat
selain sebagai hiburan, dahulu Ronggeng Gunung juga berfungsi sebagai pengantar upacara adat seperti panen raya, perkawinan, khitanan, serta penerimaan tamu.Sebelum pertunjukan dimulai biasanya diadakan ritual serta pemberian sesajen agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk sesajen terdiri dari kue-kue kering tujuh macam serta tujuh warna, pisang emas, suatu cermin, sisir serta rokok.
Penggambaran Dewi Samboja atau Dewi Rengganis nyaris identik dengan Dewi Sri Pohaci dalam mitologi Sunda yg berkaitan dengan kegiatan bertani. Oleh di karenakan itu, tarian Ronggeng Gunung juga melambangkan kegiatan Sang Dewi dalam bercocok tanam, mulai dari turun ke sawah, menanam padi, memanen, sampai akhirnya syukuran selepas panen.
Pemain, Peralatan, serta Pergelaran
Orang-orang yg tergabung dalam kelompok kesenian Ronggeng Gunung biasanya terdiri dari enam sampai sepuluh orang. namun demikian, dpt pula terjadi tukar-menukar atau meminjam pemain dari kelompok lain.
Biasanya peminjaman pemain terjadi buat memperoleh pesinden lulugu, adalah perempuan yg sudah berumur agak lanjut, namun memiliki kemampuan yg sangat mengagumkan dalam hal tarik suara.
Dia bertugas membawakan lagu-lagu Eksklusif yg tak dpt dibawakan oleh pesinden biasa. Sedangkan, peralatan musik yg dipergunakan buat mengiringi tari Ronggeng Gunung adalah tiga buah ketuk, gong serta kendang.
di zaman dahulu buat menjadi seorang ronggeng tidaklah mudah. Ia musti melalui proses panjang serta melelahkan. Seorang ronggeng gunung haruslah wanita pinilih yg mampu melewati bermacam tahapan latihan berat serta lelaku Eksklusif yg sudah ditentukan oleh gurunya.
Diantaranya, sang calon ronggeng wajib tinggal dirumah sang guru selama 3 bulan. Setiap malam ia akan diajari tembang serta menari. serta dalam proses tersebut si murid wajib memiliki daya ingat yg tinggi sebab sang guru tak akan mengulang pelajaran tersebut sampai 3 hari lamanya.
buat melatih suara biasanya dari lubang hidung sampai kerongkonan “digera” (dimasuki) oleh akar antanan. serta buat melatih nafas wajib merendamkan kepala dalam curug sungai di 7 tempat berbeda buat menguasai mantra atau doa Eksklusif yg disebut uluk-uluk. Dengan menguasainya, maka seorang Ronggeng akan memiliki suara keras serta nyaring. Kekuatan suara memang menjadi modal utama seorang ronggeng gunung sebab kesenian ini digelar tanpamenggunakan sound system.
Tari Ronggeng Gunung dapat digelar di halaman rumah di saat terdapat acara perkawinan, khitanan atau bahkan di huma (ladang), misalnya saat memerlukan buat upacara membajak atau menanam padi ladang. Durasi suatu pementasan Ronggeng Gunung biasanya memakan waktu cukup lama, terkadang-terkadang baru selesai menjelang subuh.
Perkembangan
Perkembangan Ronggeng Gunung di periode tahun 1904 sampai tahun 1945, banyak terjadi pergeseran nilai dalam penyajiannya, misalnya dalam tutorial menghormat yg semula dengan merapatkan tangan di dada berganti dengan tutorial bersalaman.Bahkan, akhirnya tutorial bersalaman ini banyak disalahgunakan, dimana penari laki-laki atau orang-orang Eksklusif bukan hanya bersalaman melainkan bertindak lebih jauh lagi seperti mencium, meraba serta sebagainya. Bahkan, terkadang-terkadang penari dpt dibawa ke tempat sepi.
di karenakan tak sesuai dengan adat-istiadat, maka di tahun 1948 kesenian Ronggeng Gunung dilarang dipertunjukkan buat Generik. Baru di tahun 1950 kesenian Ronggeng Gunung dihidupkan kembali dengan beberapa pembaruan, bagus dalam tarian ataupun dalam pengorganisasiannya oleh di karenakan itu kemungkinan timbulnya hal-hal negatif dpt dihindarkan.
buat mencegah pandangan negatif terhadap jenis tari yg nyaris punah ini diterapkan peraturan-peraturan yg melarang penari serta pengibing menjalankan kontak (sentuhan) langsung.
Beberapa adegan yg dpt menjurus kepada perbuatan negatif seperti mencium atau memegang penari, dilarang sama sekali. Peraturan ini adalah suatu tutorial buat menghilangkan pandangan serta Asumsi penduduk bahwa ronggeng identik dengan perempuan yg suka menggoda laki-laki.